Antara Sulaiman & Fir'aun

/
0 Comments
Saya kira menjadi kaya, mendapat jabatan yang layak adalah impian semua orang. Tidak ada kiranya dimuka bumi ini yang menginkan dirinya larut dalam ketidakcukupan, dan hidup dalam kemiskinan. Namun bukan berarti dengan keinginan dan impiannya itu lalu menghalalkan segala cara, kemudian mendadak lupa dari mana kenikmatan itu berasal.

Walaupun tentu sikap yang ditempuh adalah beragam dan bermacam-macam, terdapat norma yang mustinya diperhatikan. sebagai umat beragama terlebih sebagai seorang Muslim saya mengerti betul norma yang harus saya pegang. Harta, kekayaan atau apalah itu adalah menyoal ketaatan dan keberhutangan terhadap Allah. Bukan sama sekali tentang kesombongan serta sikap pongah yang seolah-olah lupa siapa yang menciptakan.

Yang terlihat aneh, banyak dari kita lupa akan keberhutangan ini. Sebagai ciptaan yang sempurna “ahsanu taqwim,” (lebih jelas tentang hal ini, bisa dibaca konsep ‘manusia sempurna’ Ibn ‘Arabi) harusnya kita ini terlecut untuk menyadari sepenuhnya bahwa keberhutangan ini patutnya dipenuhi dengan menghamba secara total dan sempurna.

Saya tunjukkan sebuah kisah tentang Nabi Sulaiman A.S. beliau adalah Nabi yang begitu mulia, kaya raya, hartanya luar biasa tak ada batasnya. Dunia begitu dihamparkan untuknya, ia memiliki semua yang bahkan tidak dimiki oleh manusia biasa. Seluruh makhluk mulai dari manusia, hewan hingga Jin tunduk dalam perintahnya.

Tapi lihat Nabi Sulaiman yang mulia tidak sedikitpun terdetik didalamnya sombong lagi angkuh dan lupa dari mana ia berasal. Justru ia menunduk dalam hari-harinya seraya terus bersyukur, menerawang akan nikmat Allah yang tidak terbatas ini. dengan mantap ia berkata “Ini adalah anugerah Allah. Untuk menguji, apakah aku ini termasuk syakirin- golongan orang-orang yang bersyukur- atau kafirin- golongan yang ingkar atas nikmat-Nya”

Oleh sebab itu menyejerahlah kisanya, tertulislah ia didalam sebuah cerita dengan balutan tinta emas. Sampai-sampai banyak masyarakat kampung yang mendengungkan dan mendendangkannya dibeberapa kesempatan, “Eman-eman temen wong sugih ora sembahyang. Nabi Sulaiman luwih sugih yo sembahyang” (sayang banget orang kaya tapi tidak sholat. Nabi Sulaiman saja lebih kaya ya Shalat).

Berbeda halnya dengan Fir’aun. Bila saja dibandingkan dengan Sulaiman, fir’aun tidak ada seujung kukunya, tidak ada apa-apanya. Mulai dari kekayaan maupun kekuasaannya. Fir’aun sama sekali tidak menguasai Jin. Malah justru dia yang dikuasai oleh Jin serta bangsa setan jahat lainnya. Namun coba perhatikan, Fir’aun begitu sombong dan angkuh dengan harta kekuasaannya. Bahkan dengan bangga dan sombongnya ia mengaku seraya berseru kepada mentri, pembesar kerajaan dan rakyatnya, bahwa ia adalah Tuhan “ana rabbukum al-a’la

Lihatlah, bagaimana plot kisah akhir dari si sombong bernama fir’aun ini. ia celaka dan menjadi makhluk malang nan durjana. Dikenang sampai akhir zaman sebagai pembangkang. Dibinasakan, diadzab oleh Allah dengan ditenggelamkan. Kemudian jasadnya pun diawetkan guna menjadi pelajaran bagi kaum setelahnya. Belum usai ingatan kita terhadap semua siksa tadi, kelak di akhirat neraka dengan api menyala-nyala telah menunggunya. Benar-benar celaka ia, sungguh !

Saksikan bagaimana kesombongan atas harta serta ketamakan, hingga melupakan Tuhannya adalah sebuah kesalahan yang betul-betul besar. Bagaimana tidak, Allah begitu ar-Rahman juga begitu ar-Rahim ia menganugerahi, memberikan, menurunkan rezeki begitu luar biasa kepada makhluk yg bernama manusia tanpa perhitungan sama sekali. Akan menjadi aneh bila dengan rezeki harta itu lalu membuat pribadi ini sombong serta lupa diri.

Rabbi, anugerahi kami ilmu padi. Yang semakin berisi, semakin menunduk. Tidak sombong ketika diberi nikmat, tidak kufur ketika diberi rizki, juga tidak jumawa ketika ditimpa kekayaan serta mengemban jabatan. Tumbuhkanlah kami rasa syukur sedalam-dalamnya, hingga kami selalu ingat darimana nikmat itu berasal, dan selalu ingat dari mana kami diciptakan. Wallahu a’lam





You may also like

Powered by Blogger.