Otentisitas Wahyu

/
0 Comments
Berangkat dari beberapa asumsi yang tergesa-gesa, banyak dari berbagai kalangan yang meragukan keaslian al-Qur’an. mulai dari anggapan yang ‘ngawur’ hingga masuk pada taraf fitnah yang sifatnya tendensius belaka. Kesimpulanny sedikit menggugah gairah, tuduhannya melahirkan anggapan serta asumsi baru, tak jarang pula banyak yang menaggapinya dengan sedikit menaikkan urat nadi kekesalan. Bagaimana tidak, asumsi mereka adalah al-Qur’an yang kita baca serta pelajari setiap hari ini adalah palsu.

Lebih dalam lagi, terdapat pula yang menyebutkan bahwa al-Qur’an adalah produk budaya “muntadz tsaqafi,” hanya teks sejarah, teks kebahasaan dan teks manusia “nashun tarikhiyyun lughawiyyun basyariyyun.” Karena ia adalah produk budaya, maka harus berubah-ubah disesuaikan dengan perubahan zaman. Well apapun itu, goal-nya tetaplah sama. Mempertanyakan keaslian al-Qur’an/meragukan otentisitas Wahyu Tuhan.

Mudah saja untuk mengenal kesalahan argumentasi terburu-buru diatas. Kesalahan pertama adalah kekeliruan dalam memahami Al-Quran. Mereka (orientalis) harusnya tahu bahwa pada prinsipnya Al-Quran itu bukanlah tulisan, tapi bacaan. Baik itu proses turunnya, penyampaiannya, pengajarannya dan periwayatannya, semua dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan melalui tulisan “talaqqi wa al-musafahah”. tulisan hanyalah penunjang. Sebagai ilustrasi kita pasti dengan sangat mudah membaca surah al-fatihah, walaupun tidak terdapat harakat (tanda baca) bahkan titik sekalipun. Ini berarti bahwa, inti dari al-Qur’an adalah hafalan/lafadz, bukan pada tulisan.

Sehingga kemudian, Al-Quran tidak bisa dianggap sebagai dokumen tertulis atau teks. melainkan sebagai hafalan yang dibaca (sebagaimana Al-Quran -qara'-yaqra'u-qur'anan, yang berarti bacaan dan bukan tulisan). Dengan argumentasi ini, orang kemudian (baca: orientalis dkk) tidak bisa menerapkan metode-metode yang lazim dipakai dalam Bibel, seperti kritik historis, source criticism, kritik teks dll. (silahkan baca, Jalaluddin al-Suyuti, al-itqan fil ‘ulum al-Qur’an. juga al-A’zami, The History of Qur’anic Teks)

Kekeliruan Kedua adalah, kesalahpahaman pada sejarah kodifikasi Al-Quran. Sejarah telah mencatat bahwa kodifikasi Al-Quran sudah di mulai dan di lakukan sejak zaman Rosulullah SAW sampai kepada Khalifah Utsman. Tidak sedikit orang yang mengingkari fakta sejarah itu. Al-Quran bukan lahir dari manuskrip, tapi sebaliknya, manuskrip-lah yang lahir dari Al-Quran.


Sedangkan kesalahan yang ketiga ialah, pengingkaran terhadap otentisitas Al-Quran muncul dari kesalahpahaman dalam memahami rasm dan qiroat. Tulisan atau khat memang mengalami perkembangan dalam sejarahnya. Meskipun demikian, rasm utsmani tidak memiliki masalah sama sekali, karena saat kaum muslimin generasi awal belajar Al-Quran, mereka menggunakan metode hafalan atau dengan cara menghafal secara langsung, bukan membaca tulisan, seperti yang terjadi di zaman sekarang. Di samping itu, kesalahan juga muncul ketika orang menganggap rasm manjadi penyebab munculnya berbagai macam qiroat. Padahal, qiroat sudah ada terlebih dahulu sebelum adanya rasm.

Sederhananya, 3 poin diatas perlu mendapat perhatian khusus bagi meraka yang ingin mengkritik al-Qur’an. Lagipula, bila kritik tadi bersifat tendensius dan hanya dipenuhi kebencian belaka, bisa dipastikan bahwa argumentasi serta asumsinya pun tidak lebih dari karangan saja. Wallahu a’lam.[]


You may also like

Powered by Blogger.