Jilbab dan dilema palsu

/
2 Comments
‘Banyak berkomentar, tapi sedikit berfikir’. Mungkin itulah model-model, dan pola-pola yang sedang digandrungi masyarakat kita (walaupun tidak semua) akhir-akhir ini. tengok saja berita-berita politik yang belakangan ini sedang panas-panasnya. Bagaimana seorang yang gak ngerti politik berkomentar bak politikus yang dengan enteng berkomentar seenak perutnya sendiri. Masalah agama serta syriat pun tidak luput dari sikap yang kurang bijak ini. alih-alih ingin mendamaikan dan mencerahkan, mereka justru membuat masalah semakin keruh, runyam dan membingungkan.

kali ini saya ingin menyoroti fenomena aneh bin ajaib itu. Yaitu argumen-argumen yang sejatinya asal ucap ‘asal mangap’ (asma) dan ‘asal bunyi’ (asbun) yang tidak ditopang oleh dasar serta pijakan yang kuat. Saya ambil contoh mengenai sebuah pertanyaan yang sedang trend serta menjebak belakangan ini “lebih baik mana, berjilbab tapi korupsi, atau tidak berjilbab tapi jujur?” atau “mendingan mana, sholat tapi suka berbuat buruk, atau orang baik tapi gak pernah sholat?.” Dan ungkapan yang sebangsanya.

Sebelum menjawab pertanyaan asma’ di atas, saya ingin sedikit bercerita. Beberapa waktu yang lalu dalam sebuah kelas, sahabat saya menanyakan sebuah pertanyaan kepada bapak dosen. kali ini Ust Syamsuddin Arif yang menjadi guru kami. Karena pelajaran yang diampu adalah metafisika, maka topic pertanyaannya pun menyoal masalah ‘wujud.’ Kurang lebih pertanyaannya seperti ini, “apakah alam ini ada kemungkinan tidak ada (mumkinul wujud) ketika Tuhan itu wajib ada (wajibul wujud)? Dan jawaban guru kami menarik, sangat menarik, hingga kami tertawa terbahak-bahak olehnya.

Dengan spontan guru kami pun menjawab, “pertanyaan yang antum sebut itu, pertanyaan pengandaian ‘suppositional question’ dan pengandain itu andaian yang tidak mungkin. Maka pertanyaan seperti itu tidak perlu dijawab” guru kami pun memberikan sebuah permisalan seketika itu, “andaikan disatu pulau terpencil di tengah lautan, yang di situ penghuninya tidak pernah bertemu dengan orang. Lalu orang di dalam pulau tersebut tidak pernah pergi dari pulau itu, dan tidak pernah didatangi oleh penghuni di luar pulau tersebut. Nah, orang itu tidak mengenal Islam, tidak pernah mendengar adzan, itu bagaimana? Jawabnya bagaimana? Apakah mereka masuk surga atau masuk neraka?”

Sebelum sebagian dari kami ada yg menjawab, guru kami langsung menimpali “jawabnya begini” dengan logat khas betawinya, “ente tau gak pulau itu di mana? Hah kalau ente tau, yah ente yang dosa, udah tau kok dibiarkan.” Kisah pun berlanjut, beliau melanjutkan dengan sebuah cerita tentang kegelisahan adiknya yang sedang kebingungan melihat sebuah video di youtube, yang intinya bertanya dengan redaksi yang mirip seperti yang saya bilang diawal tulisan ini. “mana yang lebih penting, sholat atau baca al-Qur’an?” guru kami pun bergumam dengan nada sedikit mengejek, “pertanyaan semacam ini, itu pertanyaan bodoh, yang keluar dari orang bodoh, maka yang menjawab pun bodoh juga”

Cerita pun bersambung, guru kami melanjutkan tuturnya sembari menghela nafas dalam-dalam “sebelum saya jawab pertanyaan anda, saya ingin bertanya terlebih dahulu. Mana yang lebih penting pake baju atau pake celana? .........Kalau ente bilang pake baju lebih penting daripada pakai celana, buka celana! Kalau celana lebih penting, buka baju! Sekarang, apa salahnya kalau saya pakai baju, juga pakai celana? Apa salah bila kedua-duanya penting? Hahahaha…spontan kami tertawa terbahak-bahak di dalam kelas.

Dalam ilmu logika, hal-hal yang sering diucapkan dengan latah oleh para masyarakat kita di atas ini, disebut ‘false dilemma’ dilema palsu. Apa itu dilema palsu? Dilema palsu adalah, dua perkara yang sebenarnya boleh berdampingan, serta benar dua-duanya, dibuat seolah-olah saling berhadap-hadapan, dan bertentangan antara satu dengan yang lain. kalau yang satu benar yang satu salah. Jikalau yang satu salah, satunya lagi tidak mungkin benar.
Oleh sebab itu tidak perlu heran bila keluar ungkapan seperti ungkapan di atas yang terlihat intelek namun syarat dengan masalah. Ibnu Sina bahkan menamai orang yang model begini dengan "juhhal wa dhollal" sebodoh-bodohnya dan se sesat-sesatnya manusia.

Persoalan berjilbab tapi tidak berakhlaq baik tadi adalah sebuah pernyataan yang ingin menghadapkan serta mempertentangkan dua hal yang tidak bertentangan ini. Apa salahnya bila muslimah A berjilbab tapi ia juga baik?! Berjilbab tapi tidak korupsi? berjilbab dengan akhlaq yang baik itu tidak untuk dipertentangkan, juga tidak untuk dihadap-hadapkan, oleh sebab itu tidak perlu dimending-mendingkan. Ini berarti, ketika seorang muslimah telah berjilbab, hendaklah memperbaiki akhlaknya. Yang akhlaknya sudah baik dan belum berjilbab, sempurnakanlah dengan berjilbab, karena berjilbab termasuk dari perintah agama.

Maka bila demikian, tak usahlah kita ikut-ikutan bodoh dengan mengadopsi istilah yang sejatinya rapuh dan penuh kebingungan ini. jangan dikira dengan dilema palsu ini, kamu akan terlihat intelek dan menjelma menjadi makhluk bernama manusia toleran, dan 'logika mendingan' ala orang skeptis ini tidaklah lain dari upanya pemisahan yang harusnya satu, dan menyatukan yang harusnya terpisah. maka pikirlah dahulu sebelum berbicara, seperti telitilah dahulu sebelum membeli. wallahu a'lam



You may also like

2 comments:

Powered by Blogger.