Sufisme

/
0 Comments
Pertanyaan kadang sedikit banyak mengundang kekhawatiran bahkan ketakutan. Selain rentan disalahpahami baik penanya apalagi penjawab, kadang pertanyaan juga menakutkan untuk dijawab. Terlebih ketika pertanyaan itu dilontarkan oleh sebuah kelompok tertentu yang cenderung fanatik, bahkan afiliasinya seringkali guna menjatuhkan, bukan untuk ilmu pengetahuan.

Asumsinya hanya dua, kalau tidak menguji penjawab, ya memang ingin bertanya. Seperti yang terjadi pada teman saya ketika mengisi sebuah seminar di pondok pesantren. Untungnya kekhawatiran itu tidak terjadi. Namun pertanyaan kali menarik perhatian saya, redaksinya agak lupa, namun intinya ia mempertanyakan posisi para sufi & alirannya. Apakah mereka melenceng atau tidak, keliru atau benar. Tanpa ragu ia pun mencatut nama-nama beken ‘Ulama Islam semisal Ibn Arabi, Jalaludin Rumi, al-Hallaj dsb.

Asumsi pertanyaan di atas sebenarnya wajar terjadi. mengingat banyak dari kalangan tertentu termasuk liberal yang menyeret-nyeret ‘Ulama klasik tadi ke area yang berbau pluralisme Agama. Argumentasinya berasal dari buku-buku mereka sendiri katanya. Padahal sejatinya tidak begitu. Kaum sufi memang sering menggunakan syair-syair yang sifatnya metafora. Artinya, bila tidak cermat serta memiliki cara pandang yang mumpuni bisa saja salah tafsir dan keliru dalam mengambil kesimpulan. selain itu dari sisi istilah pun sufi tidak sama sekali membenarkan pluralisme agama.

Sekurang-kurangnya terminologi sufisme dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian utama. Pertama, adalah Penyucian dari segala sesuatu yang bersifat rendah. Dalam hal ini Zakaria al-Ansori mengistilahkan dengan keadaan seseorang yang ingin terus berusaha menyucikan jiwa, memurnikan akhlak serta membangunan kepribadian lahir dan batin untuk mendapatkan keselamatan abadi.

Jadi, seorang yang sufi akan berusaha untuk meninggalkan diri dari segala sesuatu yg bersifat rendah, seperti keburukan dan kemaksiatan, dan menerapkan segala sesuatu yang bersifat tinggi. hal ini seperti yang diungkapkan oleh Imam Junayd “Sufism is adopting every higher quality and leaving every low quality” artinya, bersikap pro kepada kemaksiatan bukanlah sikap seorang sufi.Kedua, Shaykh Fadhlalla Haeri, dalam The Element of Sufism berujar, sufisme adalah kemurnian dengan Allah. as-Suyuti mengistilahkannya “one who persist in purity with Allah” seseorang yang memurnikan dirinya hanya untuk Allah. 

Serupa dengan itu, Ahmad Zorruq menambahkan, bahwa sufisme adalah sarana manusia untuk menempatkan kebenaran di dalam hati dan membuatnya ekslusif hanya untuk Allah. Hal yang serupa juga dikemukakan Imam al-Ghazali. Dalam bukunya al-Munqidh min al-dhalal, ia mengatakan bahwa salah satu bagian dari sufisme adalah, pengkosongan jiwa selain kepada Allah, dan mengisinya dengan selalu mengingat Allah, namun lebih sempurna bila disempurnakan oleh ilmu dan amal.

    "......ان طريقهم (الصوفية ) إنما تتم بعلم وعمل، وكان حاصل عملهم قطع عقبات النفس، وتنزه عن أخلاقها المذمومة وصفاتها الخبيثة، حتى يتواصل بها إلى تخلية القلب عن غير الله تعلى وتحليته بذكرالله"

Ketiga, sufisme berarti kebangkitan batin. Shaykh Fadhalalla Haeri menyebut sufisme sebagai kebangkitan batin dan pencerahan. dengan istilah lain, bahwa sufisme berarti, sebuah pengalaman yang penuh dengan rasa, dan tidak bisa dianalogikan dengan akal, serta dapat dilihat, ia hanya mampu dialami.

Dari tiga terminologi di atas, dapat dikatakan bahwa walaupun sufisme memiliki definisi yang berbeda, namun semuanya sepakat bahwa sufisme adalah pemurnian jiwa dengan membuang segala bentuk keburukan, dan menghadirkan kebaikan yang bermuara pada keridaan Allah SWT. Dengan ungkapan lain, hal-hal yang menjauhkan diri kepada Allah, menyama-nyamakan Agama, pro kemaksiatan, kontra pada syariat Nabi Muhammad, bukanlah karakteristik dari seorang sufi. Maka, bila terdapat aliran/golongan yang menyebut dirinya sufi namun berlaku demikian, seperti pernyataan bapak-bapak di atas, dapat dikatakan ia hanyalah kedok penipuan. Wallahu a’lam.[] 


You may also like

Powered by Blogger.