Secular is You

/
0 Comments
Beberapa waktu lalu ketika saya bepergian ke luar daerah menggunakan kereta, ada seorang ibu yang berkeluh kesah kepada saya. setelah berbicara panjang lebar “ngalor ngidul” “ngetan ngulon” pada intinya ibu tadi berkeluh kesah tentang anaknya. Sambil berkaca-kaca menahan tangis, ia berkisah tentang anaknya yang pada saat itu tidak ingin kuliah di sebuah perguruan tinggi. Usut punya usut alasanya cukup mengejutkan, anaknya dipaksa untuk menanggalkan jilbabnya ketika perkuliahan berlangsung. Serentak saya kaget dan bingung sambil bertanya dalam hati “sebegitu bahayakah agama, hingga tidak boleh dibawa ke tempat kuliah?.” 

Mungkin kisah di atas sering kita dengar dikhalayak ramai, sebuah pemandangan yang sudah barang tentu sama sekali tidak mengenakkan dan sedikit memancing emosi. Sebenarnya persoalan ini bermula dari sebuah asumsi yang keliru tentang agama. Seolah-olah kekerasan, keburukan, ketimpangan selalu diidentikkan dengan agama. 

Akhirnya kesimpulan Charles Kimball “kala agama menjadi bencana” atau Wilfred Cartwell Smith “udah buang aja agama” seperti wajib dikonsumsi serta diimani. Padahal asumsi ini bisa jadi salah besar. Sebab bagaimanapun juga agama memiliki sumbangsih yang teramat besar bagi kehidupan manusia. Khususnya agama Islam kepada para pemeluknya. 

Apa yang dialami anak ibu tadi adalah tidak lain buah dari sekularisasi barat. Barat sebagai sebuah peradaban begitu dipenuhi sejarah yang traumatis terhadap agama. Tengok saja proses inquisisi yang begitu kejam mulai terjadi pada abad ke 11. Menurut catatan sejarah Dalam setahun saja, sebanyak 300 orang telah dibakar hidup-hidup pada masa itu. Maka tak ayal bila Karen Amstrong sampai menyebut inquisisi sebagai institusi paling jahat yang dimiliki Kristen.

Kekerasan pun terus berlanjut hingga dialami para ilmuwan barat. Gereja tidak segan-segan menyiksa bahkan membunuh siapa pun yang melakukan heresi ideology serta memiliki pendapat yang berseberangan dengan gereja. Kecerdasan Galelio Galilei, kepintaran Protagoras dsb seperti tidak ada artinya. Peradaban barat ketika itu seperti peradaban yang sama sekali tidak bersahabat dengan ilmu pengetahuan. Maka proses pemisahan antara agama dan kehidupan manusia menjadi tak terelakkan. 

Bila dalam dunia Barat kejadiannya demikian, maka memisahkan agama dari kehidupan private menjadi sesuatu yang lumrah terjadi. Namun akan menjadi aneh bila hal ini ingin ditarik-tarik kedalam Islam dengan asumsi penyamarataan. Sebab Islam sebagai Agama sekaligus peradaban memiliki sejarah yang sama sekali berbeda dengan peradaban Barat yang dipenuhi dengan sejarah yang kelam itu. 

Tengok saja bagaimana Khalifah Ma’mun yang begitu hormat kepada ‘Ulama, sampai-sampai upah menerjemahkan sebuah buku dihargai dengan sangat mahal, yaitu dengan emas seberat buku yang ia terjemahkan. Belum lagi penghargaan, dukungan yang luar biasa kepada ‘Ulama-ulama semisal al-Biruni, Ibnu sina, Ibn Rusd, al-Khawarizmi dsb. dan ini dilegitimasi oleh teks agama (baca: al-Qur'an dan Hadist). 

Lebih dari itu, perpusatakaan public menjadi tanggung jawab pemerintah. Bahkan bila dilacak lebih jauh lagi, pemerintah ketika itu sampai menyediakan asrama sekelas hotel di samping perpustakaan tersebut untuk belajar serta menerjemahkan berbagai buku, hingga membiayai biaya penyalinan buku. Maka tak heran bila koleksi perpustakaan buku di Baghdad mencapai hingga 3 juta buku. 

Raghib as-Sirjani sampai tanpa ragu mengatakan “majal al-muslimin fi majalil ilmi” Ketika itu. Ilmu seperti lebih berharga ketimbang emas. Ini artinya, Barat dan Islam sebagai peradaban memiliki perbedaan asasi yang benar-benar mencolok antara satu dengan lainnya. melihatnya sama tentu adalah sebuah kesalahan. Bila dipaksakan dengan “cocokisasi” dimasuk-masukkan, terkesan memaksakan kehendak. 

Maka kesimpulannya menjadi begini, “SECULAR IS ME” menjadi aneh bahkan tidak relevan bila diterapkan pada Islam. Sebab apa yang dialami Barat berbeda jauh, bahkan terkesan kontradiksi dengan apa yang dialami Islam. Sepertinya, yang menjadi cocok adalah “SECULAR IS YOU”. Artinya Secularisasi ya untuk kalangan Barat sendiri. Bukan untuk konsumsi umum. Kemudian saya terpikir “bila saja kampus tempat anak ibu memiliki asumsi serta framework demikian, tentu menggunakan Jilbab di ruang kuliah menjadi dianjurkan”.  Wallahu a’lam.[]


You may also like

Powered by Blogger.