Mungkin semua akan sepakat, bahwa dataran Arab terlalu gersang untuk ditinggali manusia. Suhunya berkisar antara 37-50 derajat celcius di musim panas. Tapi siapa yang menyangka, di balik tempat yang begitu gersang dan tandus, terdapat kesejukan dalam citra dan bentuk yang lain; yaitu tradisi, keramahan penduduknya yang begitu luar biasa. Setidaknya itu gambaran saya tentang Oman, sebuah Negara di semenanjung Arab nan elok. 

Oman sebagai sebuah Negara, terletak di Asia barat daya pesisir tenggara Jazirah arab, berbatasan langsung dengan Uni Emirat Arab di barat laut, Arab Saudi di barat, dan Yaman di barat daya. Wilayah kesultanan Oman terdiri dari wilayah utama, ditambah wilayah lain di semenanjung bernama Mushandam, yang terpisah jauh di utara oleh wilayah Uni Emirat Arab dan wilayah kecil bernama ‘Exclave Wadi Madha’ yang Justru terletak di tengah-tengah wilayah Uni Emirat Arab. 

Dalam rentang sejarah, Omani, atau orang-orang oman memang dikenal dengan keramahannya dan tindak tanduknya yang luar biasa. Ini disebutkan langsung oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Muslim No.4616 Rasulullah SAW bersabda; seandainya yang kamu datangi itu adalah para penduduk Negeri Oman, Niscaya mereka tidak akan mencaci ataupun memukulimu “wa ma shabbuuka wa ma dhorobuuk.”  Artinya, mengunjungi Oman, berarti mengunjungi kedamaian, sekalipun tidak akan ada di dalamnya ancaman, intimidasi, bullying dsb.

Keramahan dan kebaikan penduduk Oman terekam oleh sejarah nan panjang, mulai masa Rasulullah, hingga saat ini; di zaman, di mana kebaikan begitu pelik dan menjadi rumit. Sebagai pelajar yang sempat mengenyam pelatihan di sana, saya menjadi saksi hidup dari keramahan, kebaikan, kejujuran para penduduk Oman ini. Guru kami bahkan pernah berkelakar; ‘orang sini kalau sudah baik, melebihi malaikat’. Belakangan, saya menyadari, dan menyetujui ujaran serampangan ini.

Selain kebaikan yang begitu luar biasa, ada satu tradisi yang mereka pegang teguh penduduk Oman, dan tradisi ini menyita perhatian saya; yaitu tradisi mendahulukan, atau dalam bahasa mereka disebut dengan “itsar.” Di dalam al-Ta’rifat, al-Jurjani menjelaskan bahwa Itsar secara bahasa berarti mendahulukan atau bisa pula diartikan dengan mengkhususkan. Sedangkan secara istilah, itsar bermakna mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri kepada sesuatu yang bermanfaat baginya, serta memberikannya kepada orang lain. Sedang, Ibnu Taimiyyah dalam Minhaju al-Sunnah menyebutkan dengan; “mengutamakan orang lain padahal ia sedang kesusahan” dan itu lebih utama daripada sekadar bersedekah dengan senang hati. Sebab menurutnya, tidak semua orang yang bersedekah itu senang hati lagi dalam kesusahan.

Ibn Miskawaih dalam tahdzibul akhlaq menerangkan itsar dengan penjelasan yang kurang lebih sama, yaitu sebagai keutamaan jiwa; menahan diri dari sebagian hajatnya untuk diberikan kepada orang yang berhak menerima. Dengan ungkapan lain, itsar berarti menekan ego pribadi, demi kebahagian dan kebutuhan orang lain. Mendahulukan kepentingan orang lain yang lebih penting, dengan mengorbankan kepentingannya sendiri. Dan Masyarakat Oman sangat kental dengan budaya dan tradisi ini. 

Dalam setiap kesempatan, orang Oman sering mendahulukan orang lain. Ketika hendak keluar dari pintu masjid misalnya, Omani selalu saling memberikan kesempatan kepada yang lebih tua umurnya, atau yang lebih tinggi tingkat keilmuannya untuk keluar terlebih dahulu. Dalam kasus lain sangat sering pula terjadi hal yang serupa. Seperti mendahukan orang lain untuk duduk, untuk sekedar bersantap, minum, dsb. Bahkan tradisi mendahulukan orang lain ini berlaku sangat keras. Seperti sudah mendarah daging. Mungkin hukumnya sudah menjadi ‘fardhu ‘ain’ bagi mereka. Soal tradisi ini, mereka seringkali bersih kukuh, keras, tidak mengenal tawar-menawar, bahkan tidak toleran dengan alasan apapun.

Tetapi yang menarik, dalam masalah ibadah, mereka justru berlaku sebaliknya. Tebakan saya, mereka betul-betul meresapi kaidah fiqih “al-itsaru fil ibadah mamnu’ wal itsar fi ghari ibadah matlub” bahwa mendahulukan seseorang dalam ranah ibadah itu tidak diperbolehkan, sedang pada selain dalam ibadah dianjurkan. Dan kemungkinan yang lain, mereka sepertinya telah lama mentadabburi al-Qur’an surah al-Hasr ayat 9; “Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” Sebab Ibn Katsir di dalam tafsir al-Kabir menjelaskan ayat ini dengan, “mereka mendahulukan orang-orang yang sangat membutuhkan daripada kepentingan pribadi.”

Maka, dalam ranah ibadah seperti bersedekah misalnya, atau mengisi shaf dalam sholat, bahkan sekedar mengambil nasi (untuk makan), dan membuang sisa-sisanya, mereka (orang-orang Oman) justru berebut luar biasa. Bahkan terlihat seperti bersitegang. Sayup-sayup seperti hendak berkata “Yang mendahului berhadapan dengan saya.” Sesuatu yang jarang saya temukan dan dapati di Indonesia. sesuatu yang langka, dan mungkin aneh. Yang sering saya jumpai justru dengan mental sebaliknya; mental ingin dilayani, bukan melayani. mental melempar tanggung jawab, bukan bertanggung jawab. Mental konsumtif bukan produktif. 

Saya jadi teringat kutipan buku Misykat karya Ust Hamid, bahwa; “wisdom always come from east” kebijaksanaan selalu datang dari timur. Setidaknya sebagai orang timur, penduduk Oman telah memberikan contoh yang begitu mendalam bagaimana menjadi manusia yang bijaksana. Manusia yang tidak egoistis dan tidak oportunis. Bahwa sesungguhnya dengan berlomba-lomba dalam kebaikan, makna sejati dari kebahagian akan tersingkap. Meneduhkan serta menentramkan sanubari jutaan manusia. Salam rindu, dari saya untuk masyakat Oman yang begitu banyak mengajarkan arti kebijaksanaan yang sebenarnya. Wallahu a’lam.[]


Powered by Blogger.