Berbicara pemimpin memang tidak akan pernah ada habisnya. Sebab pada kenyataannya, di zaman yang serba modern ini, figur pemimpin yang adil dan beradab semakin langka dan sulit dicari. Kalaupun dipaksakan, figure pemimpin itu jauh dari kata ideal; sebut saja para pemimpin yang terjangkit wabah korupsi, dekadensi moral, gaya hidup yang hedonis, tidak berakhlak, serta bersikap masa bodoh terhadap masyarakat; hingga berbicara kasar nan kotor di ranah publik menjadi semacam sesuatu hal yang lumrah dan terkesan biasa saja. Pada taraf tertentu, kata-kata kotor seorang pemimpin malah dianggap prestasi yang perlu diapresiasi.

Kepemimpinan saat ini juga telah dipolitisasi menjadi hanya sebagai bentuk dari kekuasaan. Alih-alih dipandang sebagai ‘amanah’ ia justru dianggap sebagai ajang untuk berbangga-bangga, serta memperkaya harta. Padahal kata Kasman Singodemedjo kepada Agus Salim, “Een leiders weg is een lijdensweg, leiden is lijden” Jalan Pemimpin bukanlah jalan yang mudah, pemimpin adalah penderita. Namun nyatanya, kepemimpinan dewasa ini seperti keluar dari jalurnya. Dalam banyak kasus justru digunakan untuk bersenang-senang lalu dipergunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Bukan memberi sebanyak-banyaknya namun mengambil habis seluruhnya.

Ini mengisyaratkan, bahwa kepemimpinan telah dikonsepsikan tidak pada tempat yang semestinya. Padahal kedudukan pemimpin sangatlah esensial. Sesuatu yang sangat penting dan perlu pada setiap komunitas masyarakat. Al-Ghazali sampai menulis buku ‘al-tibrul masbuk fi nasihat al-muluk’ sebagai penjelasan mengenai sosok pemimpin yang ideal. Tentu fakta ini perlu diperhatikan bersama. mengingat “setiap dari kalian adalah pemimpin, dan tiap-tiap dari pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban”(HR Bukhari). Minimal setiap dari manusia akan memimpin keluarga dan dirinya sendiri-sendiri. Maka perlu kiranya untuk memahami kembali Apa arti sebenarnya dari memimpin itu.

Dalam bahasa Inggris pemimpin berarti leader, yang dalam Merriam Webster dictionary berarti; “a person who has commanding authority or influence” yaitu seseorang yang memiliki otoritas untuk mengatur atau figure yang memiliki pengaruh. Sedang dalam bahasa arab dikenal dengan sebutan Imam atau khalifah. Ibnu Mandzur dalam Lisanul ‘Arab menjelaskan bahwa kata imamah, berakar kata ‘amma’ yang berarti di depan atau ketua. Sedangkan dalam al-mu’jam ash-shamil li mustolahat al-falsafah karya Abdul Mun’im Al-Hifny, imam berarti yang memiliki kekuasaan tertinggi di dalam agama dan dunia, yang harus diikuti oleh seluruh umat.

Dari definisi tadi, nampak bahwa dimensi kepemimpinan sederhananya ialah figur yang memiliki ketrampilan mengatur, memiliki pengaruh dan mampu memberikan contoh kepada umat manusia. Namun bila ditelaah lebih mendalam, pemimpin dan memimimpin memiliki dimensi yang lebih luas daripada itu. Kriteria pemimpin diterjemahkan oleh al-mawardi dalam ‘al-ahkam al-sulthaniyyah’ menjadi enam; berprilaku adil, memiliki ilmu untuk mengambil keputusan, panca indra yang sehat (secara fisik tidak cacat), peduli pada berbagai persoalan, tegas dan percaya diri.

Selain dari kriteria itu, menjadi pemimpin juga haruslah menyadari bahwa jabatan adalah amanah. Ini penting, sebab amanat mencirikan pertanggungjawaban. Sifat amanah menurut Ibnu Taimiyyah ialah “tarji’u ila khasyatillah” kesungguhan untuk takut kepada Allah, tidak memperjualbelikan ayat Allah untuk kepentingan duniawi dan tidak takut terhadap ancaman manusia “wa taroka khasyatinnas”. Maka tidak mengherankan bila pada hari akhir nanti, amanah itulah yang akan menjadikan penyandangnya hina dan menyesal, kecuali pemimpin itu menggambilnya dengan benar dan menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Inilah juga nasihat yang disampaikan Rasulullah kepada Abu Dzar al-Ghifari kala ia meminta jabatan sebagai pemimpin.

Syed Muhammad Naquib al-Attas menyebutkan hal yang kurang lebih serupa; bahwa menjadi pemimpin bukanlah semata-mata soal bagaimana mengatur perubahan, tetapi kepemimpinan ialah amanah. Maka lahirlah darinya kewajiban serta tanggung jawab. “leadership from Islamic prespective is not just managing changes; but more importantly, to manage as a whole with full realization of what is permanent and unchangeable. Leadership is trust (Amanah) and with that comes “responsibility” (taklif) and accountability”(mas’uliyyah).

Kriteria pemimpin ideal lainnya juga disebutkan di dalam al-Qur’an. Ini tergambar pada Nabi Ibrahim, (al-Nahl: 120-122). Di dalam ayat ini, seorang pemimpin sekurang-kurangnya haruslah mempunyai tiga hal. “Qanit li Allah” Tunduk patuh kepada perintah Allah, “hanif” lurus pada kebenaran, dan “syukur”. Al-Isfahani dalam Mu’jam Mufradat alfaz al-Qur’an mengartikan Qanit sebagai luzumu al-ta’ah ma’a al-khudu’ senantiasa taat dan tunduk, tidak ragu, dan mengingkari keberadaan Allah, tidak pula menyimpang serta membantah perintah Nya. Maka konsekuensinya adalah, seorang pemimpin hendaknya jauh dari sifat skeptis, relativis, agnostis serta pluralis dalam berkeyakinan kepada Allah.

Selain daripada itu, pemimpin dalam gambaran Nabi, bukanlah penguasa lalu berhenti di situ, tetapi ia adalah pekerja untuk melayani banyak orang.  Sebab pekerja adalah gambaran dari orang yang kuat lagi terpercaya. Seperti yang termaktub di dalam al-Qur’an “sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja, ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” (al-Qhasash: 26)
Dalam penjelasan al-Qardawi, kuat yang tertulis pada ayat di atas adalah kuat dalam memimpin, dan amanah. maksudnya ialah tidak berkhianat lalu menyimpang dari jalan Allah. Landasannya jelas karena takut kepada Allah. Sedangkan al-Qurtubi dalam tafsirnya, menjelaskan al-Amin sebagai tidak takut oleh penghianatan. Dengan ungkapan lain, menjadi pemimpin haruslah kuat dan tangguh demi bekerja untuk memenuhi kebutuhan banyak orang.

Tetapi, amanah juga tidaklah cukup. Seorang pemimpin haruslah pula berilmu. Karena bila ia berpengetahuan, berarti ia mengetahui, berilmu dan memiliki kapabilitas atas tugas-tugas yang ia akan kerjakan, lalu bertanggung jawab dengan pekerjaan itu. Namun sebaliknya, perbuatan yang tidak didasari ilmu seringkali berujung kepada hasil yang merusak. Sebagaimana yang diucakan oleh Umar bin Khattab; “amal tanpa ilmu itu lebih banyak merusak daripada memperbaiki”.

Maka al-Qur’an memberi penjelasan yang lain lewat kisah Nabi Yusuf as. Bahwa ia diberi jabatan yang tinggi oleh Raja, karena selain ia ‘al-amin’ dapat dipercaya dan ‘hafiz’ pandai menjaga, ia juga haruslah ‘alim’ berpengetahuan (Yusuf 54-55). Perlu diketahui, menjaga punya medan maksud yang cukup luas. bukan hanya menjaga masyarakat dari segala tindak kedzaliman, tapi juga menjaga laku, kepribadian serta ucapannya (pemimpin) sendiri, dari kepribadian serta ucapan yang buruk nan kotor. Sebab pemimpin juga punya sisi ‘qudwah’ keteladanan yang sudah barang tentu menjadi inspirasi banyak orang.

Dari kriteria yang telah dibahas di atas, terlihat bahwa Nabi tidak mengisyaratkan bahwa pemimpin Muslim itu haruslah yang tinggi ilmu agamanya, tetapi seorang muslim yang mempunyai ketrampilan leadership serta amanah. Artinya ilmu agamanya tidaklah harus setingkat seperti ulama. Namun perlu digarisbawahi, bukan berarti orang yang buta agama atau bahkan yang sekuler dan liberal dapat masuk dalam kriteria pemimpin versi Nabi di atas. Sebab, seseorang tidak akan amanah bila ia tidak memahami syariah.

Maka, pemimpin haruslah memahami syariah. Bila tidak demikian ia bisa lepas dari Tuhannya dan jauh dari masyarakatnya. karena seorang pemimpin memiliki dua tugas utama; beribadah kepada Allah dan berkhidmat kepada orang banyak. untuk beribadah diperlukan ilmu dan iman, sedangkan untuk berkidmat juga diperlukan ilmu untuk mensejahterakan rakyat. Dan Nabi Bersabda “pemimpin yang tidak berusaha meningkatkan materi dan akhlak serta kesejahteraan rakyat tidak akan masuk surga” (HR Bukhari).

Pada akhirnya, memimpin itu bukan hanya tentang jabatan, sikap tegas dan keras tanpa kompromi kepada kejahatan. Tapi, juga tentang memberi suri tauladan dengan sebaik-baiknya. tentang tingkah laku, lalu dengan ilmunya ia mengabdikan diri sepenuhnya demi maslahat orang banyak. Memimpin juga mengisyaratkan tanggung jawab, menjaga amanah, yang kesemuanya bermuara pada satu titik, yakni pengabdian untuk meraih ridho Allah. Mungkin baru dengan beginilah seorang pemimpin akan dicintai rakyatnya, dan rakyatnya dicintai oleh pemimpinnya. Wallahu a’lam.[]
Powered by Blogger.