The treatment of their Christian subjects 
by the Ottoman emperors -at least for two centuries 
after their conquest of Greece- exhibits a toleration 
such as was at that time quite unknown in the rest 
of Europe…” - TW Arnold-

Ummat Islam kini sedang dirundung musibah ‘minal khaūf wa al-jū serta fitnah yang bertubi-tubi. Hal ini tergambarkan dengan munculnya berbagai aksi yang –secara sengaja atau tidak sengaja– menguatkan dugaan bahwa Islam adalah agama tidak toleran dan mengajarkan kekerasan. Sebut saja salah satunya pemutaran film Fitna di Belanda pada tahun 2008 yang mengambarkan wajah Islam dengan melulu soal peperangan. Belum lagi propaganda media yang semakin kental berbau ‘tendency’ ‘prejudice’ tanpa menelaah dan bertanya terlebih dahulu.

Agaknya, peristiwa-peristiwa yang terjadi di tengah-tengah kaum muslimin tersebut telah membentuk stereotype yang menyudutkan ummat Islam sebagai bagian masyarakat dunia yang intoleran dan tidak dapat hidup berdampingan dengan komunitas lain. Padahal, bila ditelaah secara mendalam, anggapan bahwa Islam intoleran dan tidak dapat menghargai perbedaan adalah keliru. Sebab faktanya, ketika ummat Islam menjadi mayoritas pada suatu wilayah tertentu, keberadaan kelompok minoritas non muslim dapat dengan bebas melakukan aktivitasnya.

Walaupun ironisnya hal ini berbanding terbalik jika ummat Islam berada di tengah-tengah mayoritas non muslim, penganiayaan dan penindasan selalu menjadi potret suram yang seakan-akan dipandang sebelah mata oleh masyarakat pada umumnya dan masyarakat barat pada khususnya. Sejarah membuktikan, bahwa kaum muslimin dapat hidup berdampingan dengan komunitas non Muslim dalam kondisi yang aman. Bahkan dalam catatan sejarah, Nabi Muhammad SAW telah menyusun aturan dalam menjalin toleransi antara Islam dan agama-agama lain di Madinah yang dikenal dengan “Mithāq al-Madīnah”atau piagam Madinah.

Dalam dimensi sosial, sederhananya non-muslim minoritas terbagi menjadi dua kelompok, seperti yang difirmankan Allah dalam (QS. Al-Mumtahanah: 8-9). Menurut Rasyid al-Ghanusyi, dalam Huquq al-Muwatanah, kelompok pertama disebut dengan Ahl al-Harb, mereka adalah golongan orang-orang kafir yang memerangi atau terlibat peperangan dengan kaum muslim. Golongan ini haruslah diperangi dan mereka tidak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan serta pemeliharaan dari kaum Muslimin. 

Sedangkan kelompok yang kedua adalah Ahl al-‘Ahd, yaitu orang-orang non muslim yang bersikap baik dan menjalin hubungan yang harmonis terhadap kaum muslimin serta tidak terlibat dalam memusuhi kaum muslimin. Golongan ini adalah mereka yang berdamai dan mengadakan ikatan perjanjian dengan kaum muslimin, baik yang memilih tinggal di dalam dar al-Islam (wilayah Islam) maupun yang tetap tinggal di wilayahnya. Para fuqaha membagi kelompok Ahl al-‘Ahd  ini menjadi tiga golongan. Menurut Prof. Al-Syadzili dalam literatur perjalanan sejarah pemerintahan Islam, para fuqaha telah mengklasifikasikan golongan Ahl al-‘Ahd ini menjadi tiga golongan yaitu Ahl al-Dzimmah, Ahl al-Hudnah dan Ahl al-Aman. Namun, kali ini saya akan menyoroti Ahl al-Dzimmah saja.

Secara umum, ahl al-dhimmah mendapatkan hak-hak yang sama dengan yang diperoleh kaum muslimin, hanya dalam masalah tertentu yang menyangkut keamanan negara saja mereka mempunyai hak yang sedikit terbatasi. Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam ajaran-ajaran Islam dan dibuktikan secara nyata oleh fakta sejarah bahwa mereka (ahl al-dzimmah) dijamin mendapatkan hak-haknya.

Rasulullah bahkan dengan keras bagi siapapun yang berbuat aniaya terhadap hak-hak kaum dzimmi. Beliau bersabda: Ingatlah! barangsiapa berlaku dhalim terhadap Mu’ahid (non muslim yang mengikat janji setia dengan pemerintahan Islam), mengurangi haknya, membebani mereka beban (jizyah) di luar kemampuannya atau mengambil harta mereka tanpa kerelaan mereka, maka akulah nantinya yang akan memusuhinya di hari kiamat kelak.....”

Sedangkan hak-hak yang harus diperoleh oleh non-muslim selama berstatus  ahl al-dzimmah adalah, pertama, Hak Perlindungan atau Keamanan. Hak ini meliputi perlindungan dari segala macam penindasan dan ancaman, baik datangnya dari luar maupun dari dalam wilayah Islam. Menurut Ibn Hazm, ahl al-dzimmah haruslah mendapatkan perlindungan dari kaum muslimin dari segala ancaman yang menghampiri mereka. Artinya tidak tebang bulu, tindakan diskriminatif dari kaum muslimin sekalipun akan mendapat perlakuan tegas. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah, “Barangsiapa yang bertindak aniaya terhadap kaum dzimmi, maka aku adalah musuhnya, dan barangsiapa yang memusuhiku, maka aku akan memusuhinya nanti di hari kiamat” (al-Khatib dengan sanad hasan). Ini disebabkan karena mereka telah memiliki ikatan dengan kaum muslimin, sehingga akan mendapatkan keadilan berupa perlindungan dari pihak manapun yang berlaku aniaya terhadap mereka.

Kedua, Hak Kebebasan Beragama. Hal ini berarti, Islam memberikan kebebasan kepada umat beragama untuk memeluk agama yang diyakini tanpa ada ancaman dan tekanan dalam bentuk apapun. Islam tidak pernah sedikitpun membenarkan pemaksaan terhadap kepercayaan seseorang, terlebih untuk memeluk agama Islam (QS. al-Baqarah: 256). Ahmad Deedat dalam sesi debatnya menyebutkan ‘there is no compulsion in religion.’ ini terbukti dari bertambahnya populasi kristen koptik di Mesir pada saat Islam memimpin lebih dari 1400 tahun. Hal serupa juga terjadi di Andalusia Spanyol. Menurutnya, jika pemerintahan Islam itu bersifat memaksa dan kejam terhadap minorotas non muslim, mungkin populasi kristen tidak akan bertambah di Mesir dan wilayah lainnya.

Selain daripada itu, Islam Justru mengajarkan kepada ummatnya tentang tuntunan dan etika dalam berdakwah kepada orang-orang non muslim, yaitu dengan hikmah serta contoh yang baik ‘bil hikmah wal mauidzah hasanah’ (QS. al-Nahl: 125). Bahkan dengan sangat tegas melarang umatnya untuk mencela sembahan-sembahan orang-orang non-muslim (Q.S. Al-An’am: 108). Larangan tersebut juga berlaku terhadap pemimpin-pemimpin atau orang-orang yang dihormati dikalangan mereka. Dengan kata lain, tidak dibenarkan bagi kaum muslimin untuk menggunakan kata-kata celaan terhadap non muslim sehingga melukai perasaan dan menyakiti mereka.

Ketiga, Hak Bekerja dan Berusaha. Hak untuk bekerja dan berusaha juga didapatkan oleh ahl al-dzimmah. Bahkan kaum dzimmi memiliki hak dan kedudukan yang sama dengan kaum muslimin dalam berbagai lapangan pekerjaan. Mereka dapat menikmati kebebasan penuh dalam perdagangan, industri, keterampilan, pertanian dsb. Al-Maududi menjelaskan, bahwa dalam pemerintahan Islam pintu-pintu usaha baik dalam pertanian, perdagangan perindustrian dan profesi lainnya terbuka bagi setiap warga negara, tidak ada keistimewaan yang diberikan bagi kaum muslim atas kaum dzimmi dalam peluang usaha dan pekerjaan, dan non muslim tidak akan dihambat kesempatannya hanya karena perbedaan keyakinan, semua pihak mendapatkan kesempatan dan hak yang sama dalam bidang perekonomian.

Keempat, Hak Jaminan Hari Tua dan Kemiskinan. Islam sangat menekankan pentingnya menjaga amanah dan tanggung jawab. Hal ini tidak berlaku hanya untuk kaum muslimin saja, melainkan non muslim yang memiliki ikatan dzimmah sekalipun tak luput dari perhatian dan tanggung jawab Islam. Salah satu perhatian yang diberikan terhadap ahl al-dzimmah adalah pemberian jaminan sosial berupa santunan kesejahteraan atas kaum dzimmi beserta keluarganya. Hal ini didasarkan atas ijma’ para sahabat di masa khulafa al-Rasyidin, mereka mencontohkan sikap-sikap yang sangat toleran dan peduli terhadap kaum dzimmi.

Dalam memberikan jaminan dan perlindungan kepada ahl al-dzimmah tidak sedikit telah dicontohkan oleh para sahabat. Amir al-Mu’minin Umar bin khattab ra misalnya, pada masa pemerintahannya beliau memberikan contoh yang sangat mengagumkan, bagi kaum dzimmi yang tidak mampu lagi untuk bekerja bukan hanya dibebaskan dari jizyah, melainkan juga diberikan uang tunjangan yang diambil dari bait al-mal (kas negara). Demikian juga yang ditunjukkan oleh Khalid bin Walid, meskipun memiliki kekuasaan sebagai panglima besar dalam ranah militer Islam, ia tetap menunjukkan sikap toleransi yang tak jauh berbeda dengan para pemimpin ummat Islam lainnya.

Kelima, Hak Politik dan Jabatan dalam Pemerintahan. Di dalam pemerintahan Islam, meskipun minoritas para Dhimmi juga mendapatkan hak-hak politik untuk dapat menduduki jabatan-jabatan dalam pemerintahan seperti halnya kaum muslimin, hanya pada jabatan yang berkenaan dengan keagamaan atau ideologi negara kaum dzimmi tidak diperkenankan. Hal ini menjadi logis, sebab tidak mungkin dan tidak masuk akal seseorang yang bukan beragama Islam akan melaksanakan hukum Islam dan memeliharanya dengan baik.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Al-Maududi bahwa semua jabatan pemerintahan terbuka bagi kaum dzimmi, kecuali sedikit jabatan kunci semisal kepala negara dan majelis permusyawaratan. Kaum Muslimin tidak dibenarkan merampas hak-hak mereka selama tidak bertentangan dengan perintah syariat. Dengan kata lain, hanya orang Islamlah yang mempunyai hak untuk menduduki jabatan kepala negara dan majelis syura, karena jabatan tersebut akan menjadi penentu lahirnya kebijakan-kebijakan kunci dalam tatanan pemerintahan. Namun untuk posisi dan kedudukan lainnya semisal badan administrasi negara atau yang lain sebagainya, maka kaum minoritas non muslim berhak mendudukinya sesuai prosedur dan aturan dalam negara Islam tersebut.

Jadi, tuduhan bahwa Islam adalah melulu tentang kekerasan, bahwa Islam mengancam perdamaian umat manusia, bahwa Islam tidak dapat berdampingan dengan golongan yang lain, dan ‘bahwa-bahwa’ lainnya, adalah tuduhan yang jelas sembrono juga keliru. Sebab faktanya kaum minoritas yang sering disebut dzimmi justru dijamin segala kehidupannya, dilindungi hak-haknya, serta dihormati keyakinannya. Tak heran bila seorang orientalis bernama TW Arnold berkata The treatment of their Christian subjects by the Ottoman emperors -at least for two centuries after their conquest of Greece- exhibits a toleration such as was at that time quite unknown in the rest of Europe…” selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani– telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa. Wallahu a’lam.[]
Powered by Blogger.