Pada beberapa dekade terakhir ini, sering terdengar suara-suara yang mempropagandakan kesamaan Shi’ah dengan Sunni, baik berasal dari media meinstrem ataupun dari tokoh-tokoh cendikiawan tenar. Seolah-olah keduanya adalah sama, dan tidak ada bedanya. perbedaan mereka pun dianggap layaknya perbedaan antara Muhamadiyah dengan Nahdhatul ‘Ulama, pun seperti perbedaan antar mahdzab dalam Islam yang lazim terjadi. Hingga munculah ungkapan bahwa“orang yang masih mempertentangkan Shi’ah & Sunni adalah orang yang lahir terlambat.” Maka tidak mengherankan bila persoalan ini dianggap menjadi persoalan yang tidak serius oleh beberapa kalangan.

Isu semacam ini begitu banyak menyebar pada hampir setiap orang, mulai dari masyarakat awam, hingga para akademisi serta dosen-dosen di perguruan tinggi. Padahal bila ditelaah secara teliti dan mendalam, perbedaan antara keduanya begitu ketara dengan jelas, tidak hanya meliputi pada masalah-masalah yang bersifat ‘furuiyyah’, dengan konsekuensi khoto’ wa shawab, namun telah masuk pada ranah ‘Ushuliyyah.’ Yang telah berdimensi kepada haq wal bhatilSehingga menyama-nyamakannya dengan dalih perbedaan yang remeh di antara keduanya adalah pernyataan yang terburu-buru serta kesimpulan yang keliru.

Agaknya anggapan serta opini yang menyebar tersebut perlu ditelaah secara masak terlebih dahulu. Sebab, pada pada kenyataanya tidak demikian. Dalam referensi induk karya para ‘ulama Shi’ah, begitu ketara bahwa Shi’ah memiliki ideologi yang syarat akan penyimpangan. Keyakinan mereka terhadap Sahabat Nabi misalnya, mereka menganggap bahwa melaknat dan menista para sahabat Nabi adalah termasuk ibadah dan sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Allah. Pada prakteknya pun, pelaknatan ini sering diucapkan setiap selesai shalat wajib (Imam al-Khulaini, al-Kafi vol III, hal 194).

Dalam kitab yang lain, yakni “Majma’ al-Nuraini wa Multaqa al-Bahraini” disebutkan bahwa do’a dan wirid yang berisikan laknat terhadap sahabat lebih utama daripada bershalawat atas Nabi. Oleh sebab itu tidak mengherankan bila terdapat buku khusus untuk menistakan Abu Bakar, Umar dengan Judul “Iqdu l-Durari fi idkhal al-surur ‘ala binti sayyidil Basyar” penulisnya pun dengan terang-terangan, lebih senang menyebutkan bukunya dengan sebutan “Iqdu l-Durari fi Baqri Bathni ‘Umar” yang artinya kalung permata tentang mutilasi perut ‘Umar. Melaknat Abu Bakar dan ‘Umar pun diyakini memiliki derajat yang tinggi dan merupakan dzikir yang mulia. Dalam kitab yang lain mereka dijuluki Fir’aun dan Haman. (Ilzaam al-Naashib fi Itsbatil Hujjah al-Ghaib, vol 2, hal 231).

Bahkan, dijelaskan oleh Syaikh Muhammad Baqir al-Majlisi dalam kitabnya “Bihar al-Anwar” (hal.316, Vol 50, cet III) bahwa, melaknat para sahabat pahalanya semisal para pemanah yang menyertai Rasulullah SAW dalam perang Badar dan Hunain dengan satu juta anak panah. Hal ini diperparah dengan ungkapan ‘Ulama Shi’ah yang lain, semisal Ni’matullah al-Jaza’iri. ia menyebutkan sekaligus menuduh bahwa Abu Bakar ra telah berbuat Syirik, dengan memakai kalung berhala ketika shalat di belakang Nabi. (al-Anwar al-Nu’maniyah, hal.53). Hal yang serupa pun dikemukakan oleh al-‘Iyashi, dalam tafsirnya ia mengatakan bahwa pasca wafatnya Nabi terdapat beberapa Sahabat Nabi yang mu’min namun beberapa dari mereka adalah kafir. (tafsir al-‘Iyashi, jilid 1 hal.343).

Dengan redaksi yang semisal, Istri Nabi Aisyah ra pun tidak luput dari tuduhan dan cercaan. Ali bin Ibrahim al-Qummi dalam karyanya “Tafsir al-Qummi” menyebutkan bahwa maksud dari kata “khianat” dalam surah at-Tahrim:10 dituduhkan kepada Aisyah ra. Ia dianggap telah berbuat zina dan perlunya ditegakkan hukuman kepadanya karena telah berselingkuh dalam sebuah perjalanan. (al-Qummi, hal. 377).
Syaikh Ali al-Amili al Bayadhi, yang menulis kitab “Shirat al-Mustaqim ala Mustaqqi al-Taqdim”, bahkan memanggil Istri Nabi dengan sebutan “Ummu Syurur” yakni Ibu kejahatan. Dan masih sangat banyak contoh-contoh yang lain.

Bila merujuk kepada pemahaman muslim pada umumnya, pandaangan Shi’ah terhadap sahabat ini begitu ketara menyimpang dan keliru. Sebab di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, tegas menyebutkan betapa Mulianya kedudukan sahabat. Mereka disebut sebagai generasi terbaik manusia ‘khoiru ummati qornu al-ladzina yalunii’ (Sahih Muslim no:2533 juz 4 hal.1962) Allah ridha dengan mereka, dan surga menjadi balasannya. Allah berfirman, “orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar” (QS. At-Taubah:100).

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan bahwa Allah telah ridho kepada para sahabat baik Muhajirin maupun Anshor, maka surgalah tempat mereka. Maka barangsiapa yang telah mencela mereka terlaknatlah ia. Terlebih lagi para sahabat yang menggantikan kekhalifaan sepeninggal Nabi, yakni Abu Bakar ra, Umar ra, dan Utsman ra. Lebih lanjutnya Ibnu Katsir menerangkan bahwa mencela sesuatu yang telah Allah ridhoi, dan Nabi senangi adalah tercela. Sebab mereka adalah pengikut Nabi dan bukanlah ahlu bid’ah. Mereka itu termasuk golongan Allah yang beruntung dan hamba yang mu’min. (Tafsir Ibnu Katsir, Juz 4 hal.203).

Selain persoalan sahabat, Shi’ah juga memiliki persoalan yang tak kalah serius yakni yang terkait dengan nikah mut’ah. Nikah mut’ah yang diyakini oleh Shi’ah yaitu perkawinan antara seorang lelaki dan wanita dengan maskawin tertentu, untuk jangka waktu tertentu, yang berakhir dengan habisnya masa di mana suami tidak berkewajiban memberikan nafkah dan tempat tinggal kepada istri, serta tidak menimbulkan pewarisan antara keduanya. Ajaran nikah mut’ah ini pula lah yang menjadi “ciri khas” tersendiri yang membedakan Shi’ah dengan sunni (Ahlus sunnah wal jama’ah).

Keyakinan Shi’ah terhadap nikah mut’ah ini hampir bisa ditemukan di seluruh buku-buku Shi’ah. Hal ini dikarenakan ajaran nikah mut’ah merupakan ajaran yang disepakati oleh mayoritas sekte-sekte Shi’ah. Salah satunya dalam kitab utama rujukan Shi’ah Man La Yahdhuru al-Faqih karangan al-Qumi terdapat hadis Shi’ah yang berbunyi, “Sesungguhnya mut’ah itu adalah agamaku dan agama nenek moyangku. Maka barang siapa yang mengamalkannya, sungguh ia telah mengamalkan agama kami, dan barang siapa yang ingkar maka telah mengingkari agama kami dan telah memeluk selain agama kami”. (vol III hal.336).

Doktrin nikah mut’ah ini menjadi sangat kuat dalam ajaran Shi’ah tidak lepas dari upaya Shi’ah dalam “membumbuinya” dengan dalil-dalil palsu guna menipu para penganut Shi’ah dan orang-orang di luarnya. Salah satunya adalah dengan meriwayatkan hadist-hadist palsu yang menerangkan keutamaan-keutamaan nikah mut’ah. Seperti pahala nikah mut’ah setara dengan 70 kali haji dan umrah, terbebas dari neraka, diampuni dosa-dosanya terlebih bagi wanitanya, meningkatkan derajat ketakwaan dan lain sebagainya. (Baqir al-Majlisi, ‘Risalah Mut’ah’ hal.16). bahkan Abu Ja’far al-Qumi meyebutkan dalam bukunya, bahwa praktek mut’ah akan mengampuni dosa-dosa, terlebih bagi pasangan wanita. (Man La Yahdhuru al-Faqih, hal 229-330).

Namun anehnya, Husein bin Ali bin Abi Thalib yang mereka anggap imam sendiri ketika ditanya tentang nikah mut’ah, beliau menjawab, “Janganlah engkau mengotori dirimu dengannya (mut’ah)”. Jawaban Husein ini tertulis jelas dalam kitab hadist rujukan utama mereka sendiri yaitu Bihar al-Anwar karangan al-Majlisi. Artinya, keyakinan Shi’ah selain bertentangan dengan sikap ahlu bait sendiri, juga mereka  hanya menggunakan riwayat-riwayat palsu guna menjustifikasi kehalalan nikah mut’ah tanpa mengambil riwayat-riwayat lain yang jelas-jelas mengharamkannya.

Selain daripada itu, Shi’ah juga mempunyai pandangan berbeda nan mencolok terkait dengan Rukun Iman dan Rukun Islam. Imam Khulaini dalam bukunya menyebutkan bahwa rukun Islam yang benar terdiri dari Shalat, Puasa, Zakat, Haji, dan wilayah. Sedangkan rukun Imannya terdiri dari Tauhid, Nubuwah al-adl, Imamah dan al-Ma’ad. (Ushul al-Kafi, vol 2 hal.15). 

ini sangat berbeda dengan keyakinan umat Muslim pada umumnya, bahwa Rukun Islam itu dimulai dengan Shahadah dan diakhiri dengan Haji bagi yang mampu. begitu pula dengan rukun Iman, yang terdiri atas, iman kepada Allah, Malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, Rasul-rasulNya, kepada hari akhir, dan kepada Qadar. (lihat: QS. An-Nisa’:136 dan Sahih Muslim, no:8 Juz 1 hal.36).

Dari beberapa hal tadi, kiranya cukup jelas seberapa besar perbedaan yang terjadi. Perbedaan tersebut bukan lagi masuk pada ranah ‘ijtihadiyyah’ (wilayah diskusi), namun telah masuk pada ranah ‘qat’i’ (inti) yang tidak perlu diperdebatkan. Mungkin ada yang menyebutkan bahwa “tak perlu lah membeda-bedakan, mari kita cari persamaannya.” bahwa persamaan lebih penting dari perbedaan?. Padahal, sejatinya sebuah perbedaan lah yang mampu melahirkan kesimpulan dengan benar dan tepat. manusia tidak akan disebut dengan monyet walaupun keduanya sama-sama mengunyah dengan mulut, dan sama-sama memiliki dua mata, dua tangan, kaki, dan seterusnya. Ini menunjukkan bahwa menyama-nyamakan adalah tindakan yang berbahaya, dan melahirkan kesimpulan yang keliru lagi ambigu.

al-Imam Syaifuddin al-Amidi pengarang kitab ‘Abkar al-Afkar’ menyebutkan bahwa prinsip “ma bihi iftiraq” (the principle of difference) itu jauh lebih penting dengan “ma bihi al-ittifaq” (the principle of similarities). Karena prinsip pembeda lah yang pada akhirnya mampu menyebutkan dengan yakin bahwa ini manusia, dan itu monyet, itu racun dan ini air susu. Oleh karena itu membedakan antara Shi’ah dan Sunni, bukan lah upaya untuk mengadu domba di antara kedua belah pihak, melainkan untuk melihat secara jernih “to look what is laying under the carpet”, meneguhkan posisi juga menetapkan sikap di antara keduanya. Wallahu a’lam
Powered by Blogger.