Pengertian Realitas?

Secara bahasa, realitas di dalam tradisi intelektual Islam berarti al-haq dan al-haqīqah. Terma al-haq memiliki medan makna yang cukup luas, di antaranya: kebenaran, kenyataan, benar, kepastian, kejujuran, ketetapan yang terjadi terus-menerus, teguh, tetap, serta abadi. Namun demikian beberapa makna yang telah tersebut tadi, digunakan dalam term yang berbeda. Jujur misalnya, digunakan ketika seseorang pembawa kabar menyampaikan sebuah kabar yang sesuai dengan fakta realitas yang terjadi. Ini berarti, kebenaran dapat diperoleh dari kabar yang disampaikan oleh seseorang, manakala kabar tersebut dapat dibuktikan selaras dengan realitas yang ada. ini juga yang dijelaskan oleh Simon Blackburn, bahwa realitas berarti apapun yang ada, atau pertanyaan tentang seberapa banyak yang ada itu ada. di samping itu, perlu diperhatikan bahwa terma ini tidak hanya berlaku sebagai ungkapan saja, melainkan masuk juga di dalamnya kepercayaan, tindakan juga sesuatu entitas dari bukti sebuah keberadaan.

Di samping pemaknaan tadi, al-Jurjāni memaknai al-haq ke dalam beberapa makna yang kurang lebih juga selaras. Pertama sebagai lawan kata dari bhāṭil. Kedua sebagai salah satu nama penting dari nama-nama Allah SWT. Ketiga akurasi kata “shidq al-hadith”. Keempat, yakin setelah ragu “al-yaqīn ba’da al-shak.” Kelima, tetap “tsābit”. Keenam kesesuaian realitas “wāqi dengan keyakinan “i’tiqād,” seperti kata sidq yang berarti kesesuain dengan keyakinan dan realitas. Di sini tampak jelas, kata haqīqah bermakna: sesuatu dalam penggunaannya ditempatkan sesuai dengan posisinya asalnya “mā uqīru fī al-Isti’māl ‘alā aṣli wad’ihi.” Dengan penjelasan ini, maka kata haqīqah memiliki maksud selaras dengan adil, yaitu meletakkan sesuatu sesuai dengan tempatnya, konsisten, tidak berlebihan, serta tidak lalai. Al-Nasafi mendefinisikan haqīqah dengan: dengannya sesuatu apa adanya, “mā bihi syaī’ huwa huwa.”

Al-haqīqah juga dapat disebut sebagai quiditas “al-māhiyyah,” ke-dirian “hËwiyyah”, dan esensi sesuatu, “dzāt.” Penjelasan yang menarik dijelaskan oleh al-Taftazāni: bahwa ketika al-haqiqah dinilai dari perwujudan akan realitas eksternal maka ia bermakna (haqīqah) real. Sedang ketika dinilai sebagai yang individual, maka ia disebut ke-dirian (ipseity [hūwiyyah]). Sedangkan bila ia dinilai sebagai sesuatu yang berdiri sendiri—tanpa dinilai perwujudannya dari realitas eksternal ataupun yang berdiri sendiri—maka ia disebut esensi (māhiyyah [quiditas]). Selain daripada itu, al-Taftazāni menegaskan bahwa terma substansi (al-tsubūt), perwujudan (tahaqquq), dan keberadaan (wujūd) punya medan makna yang sama dan itu dapat dipikirkan secara a priori (badīhi al-tasawwur). Jadi al-haqīqah adalah esensi sesungguhnya dari sesuatu yang mana itu ada di dalam realitas, membentuk identitas sesuatu, dan dapat diukur baik secara logis maupun ontologis. Dibuktikan secara logis, manusia misalnya; dapat dipertimbangkan dari mematuhi quiditasnya ‘essensi’, yang merupakan genusnya (jins) yaitu ‘hewan’ dan perbedaannya (fal), yaitu ‘rasional’ identifikasi dari manusia atau spesiesnya (naw’) maka menjadi ‘hewan yang rational.’ Begitu pula apabila dilihat dari prespektif ontologis; yakni dengan memperhatikan realitas eksternal atau kewujudannya secara individual. Maka susunanya menjadi terdiri dari unsur (māddah) dan bentuk (sËrah), di mana identitasnya adalah substansinya, tubuh (jism).

Apa cangkupan kajian realitas?

Medan kajian realitas mencangkup di dalamnya, kajian mengenai wujud “being,” dalam scope pembahasan metafisika. Karena pembicaraannya berkaitan dengan wujud, maka di dalamnya akan bersinggungan dengan quiditas dan essence, existence, di mana diskusinya berkenaan dengan realitas empiris dengan realitas non empiris, serta hubungan di antara keduanya.

Posisi kajian realitas di dalam kajian filsafat?

Berbicara filsafat, berarti dimulai dengan pertanyaan “what it is?.” Seperti yang pernah diungkapkan oleh Aristotle, bahwa filsafat dimulai dari rasa penasaran (ingin bertanya). Karena menurutnya, semua manusia secara natural memiliki kemampuan untuk mengetahui “all men naturally desire knowledge.” Di mana pertanyaan-pertanyaan itu meliputi segala hal termasuk di dalamnya tentang realitas, eksistensi, baik alam semesta maupun Tuhan. Oleh sebab itu, pengetahuan yang berkenaan dengan realitas merupakan bagian dari kajian metafisika, ontologi. ontologi dapat didefinisikan sebagai studi filosofis tentang hakikat dan eksistensi atau keberadaan suatu entitas, atau realitas umum serta kategori dasar dan hubungan diantara keduanya.“Theory of being qua being” kata Aristoteles, teori keberadaan sebagai kebenaran. Ontology berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan mengenai mengapa suatu entitas atau objek itu ada (keberadaan), bagaimana entitas tersebut dikelompokkan menurut hirarki, persamaan maupun perbedaannya.

Hubungan realitas dengan filsafat sains?

Berbicara filsafat sains menurut Prof Adi Setia, tidak akan luput dari empat pembahasan utama, yaitu; ontology, epistemology, kosmologi serta aksiologi. Karena realitas merupakan bagian dari scope kajian dari ontology, maka ia akan berhubungan erat dengan filsafat sains. Maka prof al-Attas sering menyebut filsafat sains dengan “the metaphysical vision of truth and reality.” Menurut Ahmad Maimun Syamsudin, filsafat sains adalah pertanyaan-pertanyaan fundamental terkait dengan sains, dan salah satu dari sekian banyak pertanyaan fundamental yang terus dipertanyakan di dalam sains adalah, pertanyaan yang berkenaan dengan realitas. Selain dari pada itu, keempat hal yang menjadi basic kajian dan telah tersebut sebelumya tadi, saling berhubungan satu sama lainnya. Kesimpulan yang terkait dengan metafisika misalnya, akan mempengaruhi kajian yang berkenaan dengan epistemology dst. Maka, kesimpulan tentang realitas, akan mempengaruhi pandangan manusia terkait kebenaran, tentang alam, sains dst.

Contoh nyata yang dapat dilihat adalah dengan adanya aspek ketuhanan di dalam Islam, maka cara pandang terhadap realitas menjadi integral. Artinya realitas fisik dilihat dengan dirujuk kepada realitas metafisik. Ayat-ayat kauniyah dikaitkan dengan ayat-ayat qauliyah. Maka hasilnya, cara pandang Islam menjadi tidak dikotomis, tidak membedakan antara subjektif dengan objektif, tekstual-kontekstual, historis-normatif, dst.
Mungkin semua akan sepakat, bahwa dataran Arab terlalu gersang untuk ditinggali manusia. Suhunya berkisar antara 37-50 derajat celcius di musim panas. Tapi siapa yang menyangka, di balik tempat yang begitu gersang dan tandus, terdapat kesejukan dalam citra dan bentuk yang lain; yaitu tradisi, keramahan penduduknya yang begitu luar biasa. Setidaknya itu gambaran saya tentang Oman, sebuah Negara di semenanjung Arab nan elok. 

Oman sebagai sebuah Negara, terletak di Asia barat daya pesisir tenggara Jazirah arab, berbatasan langsung dengan Uni Emirat Arab di barat laut, Arab Saudi di barat, dan Yaman di barat daya. Wilayah kesultanan Oman terdiri dari wilayah utama, ditambah wilayah lain di semenanjung bernama Mushandam, yang terpisah jauh di utara oleh wilayah Uni Emirat Arab dan wilayah kecil bernama ‘Exclave Wadi Madha’ yang Justru terletak di tengah-tengah wilayah Uni Emirat Arab. 

Dalam rentang sejarah, Omani, atau orang-orang oman memang dikenal dengan keramahannya dan tindak tanduknya yang luar biasa. Ini disebutkan langsung oleh Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Muslim No.4616 Rasulullah SAW bersabda; seandainya yang kamu datangi itu adalah para penduduk Negeri Oman, Niscaya mereka tidak akan mencaci ataupun memukulimu “wa ma shabbuuka wa ma dhorobuuk.”  Artinya, mengunjungi Oman, berarti mengunjungi kedamaian, sekalipun tidak akan ada di dalamnya ancaman, intimidasi, bullying dsb.

Keramahan dan kebaikan penduduk Oman terekam oleh sejarah nan panjang, mulai masa Rasulullah, hingga saat ini; di zaman, di mana kebaikan begitu pelik dan menjadi rumit. Sebagai pelajar yang sempat mengenyam pelatihan di sana, saya menjadi saksi hidup dari keramahan, kebaikan, kejujuran para penduduk Oman ini. Guru kami bahkan pernah berkelakar; ‘orang sini kalau sudah baik, melebihi malaikat’. Belakangan, saya menyadari, dan menyetujui ujaran serampangan ini.

Selain kebaikan yang begitu luar biasa, ada satu tradisi yang mereka pegang teguh penduduk Oman, dan tradisi ini menyita perhatian saya; yaitu tradisi mendahulukan, atau dalam bahasa mereka disebut dengan “itsar.” Di dalam al-Ta’rifat, al-Jurjani menjelaskan bahwa Itsar secara bahasa berarti mendahulukan atau bisa pula diartikan dengan mengkhususkan. Sedangkan secara istilah, itsar bermakna mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri kepada sesuatu yang bermanfaat baginya, serta memberikannya kepada orang lain. Sedang, Ibnu Taimiyyah dalam Minhaju al-Sunnah menyebutkan dengan; “mengutamakan orang lain padahal ia sedang kesusahan” dan itu lebih utama daripada sekadar bersedekah dengan senang hati. Sebab menurutnya, tidak semua orang yang bersedekah itu senang hati lagi dalam kesusahan.

Ibn Miskawaih dalam tahdzibul akhlaq menerangkan itsar dengan penjelasan yang kurang lebih sama, yaitu sebagai keutamaan jiwa; menahan diri dari sebagian hajatnya untuk diberikan kepada orang yang berhak menerima. Dengan ungkapan lain, itsar berarti menekan ego pribadi, demi kebahagian dan kebutuhan orang lain. Mendahulukan kepentingan orang lain yang lebih penting, dengan mengorbankan kepentingannya sendiri. Dan Masyarakat Oman sangat kental dengan budaya dan tradisi ini. 

Dalam setiap kesempatan, orang Oman sering mendahulukan orang lain. Ketika hendak keluar dari pintu masjid misalnya, Omani selalu saling memberikan kesempatan kepada yang lebih tua umurnya, atau yang lebih tinggi tingkat keilmuannya untuk keluar terlebih dahulu. Dalam kasus lain sangat sering pula terjadi hal yang serupa. Seperti mendahukan orang lain untuk duduk, untuk sekedar bersantap, minum, dsb. Bahkan tradisi mendahulukan orang lain ini berlaku sangat keras. Seperti sudah mendarah daging. Mungkin hukumnya sudah menjadi ‘fardhu ‘ain’ bagi mereka. Soal tradisi ini, mereka seringkali bersih kukuh, keras, tidak mengenal tawar-menawar, bahkan tidak toleran dengan alasan apapun.

Tetapi yang menarik, dalam masalah ibadah, mereka justru berlaku sebaliknya. Tebakan saya, mereka betul-betul meresapi kaidah fiqih “al-itsaru fil ibadah mamnu’ wal itsar fi ghari ibadah matlub” bahwa mendahulukan seseorang dalam ranah ibadah itu tidak diperbolehkan, sedang pada selain dalam ibadah dianjurkan. Dan kemungkinan yang lain, mereka sepertinya telah lama mentadabburi al-Qur’an surah al-Hasr ayat 9; “Dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan.” Sebab Ibn Katsir di dalam tafsir al-Kabir menjelaskan ayat ini dengan, “mereka mendahulukan orang-orang yang sangat membutuhkan daripada kepentingan pribadi.”

Maka, dalam ranah ibadah seperti bersedekah misalnya, atau mengisi shaf dalam sholat, bahkan sekedar mengambil nasi (untuk makan), dan membuang sisa-sisanya, mereka (orang-orang Oman) justru berebut luar biasa. Bahkan terlihat seperti bersitegang. Sayup-sayup seperti hendak berkata “Yang mendahului berhadapan dengan saya.” Sesuatu yang jarang saya temukan dan dapati di Indonesia. sesuatu yang langka, dan mungkin aneh. Yang sering saya jumpai justru dengan mental sebaliknya; mental ingin dilayani, bukan melayani. mental melempar tanggung jawab, bukan bertanggung jawab. Mental konsumtif bukan produktif. 

Saya jadi teringat kutipan buku Misykat karya Ust Hamid, bahwa; “wisdom always come from east” kebijaksanaan selalu datang dari timur. Setidaknya sebagai orang timur, penduduk Oman telah memberikan contoh yang begitu mendalam bagaimana menjadi manusia yang bijaksana. Manusia yang tidak egoistis dan tidak oportunis. Bahwa sesungguhnya dengan berlomba-lomba dalam kebaikan, makna sejati dari kebahagian akan tersingkap. Meneduhkan serta menentramkan sanubari jutaan manusia. Salam rindu, dari saya untuk masyakat Oman yang begitu banyak mengajarkan arti kebijaksanaan yang sebenarnya. Wallahu a’lam.[]


Berbicara pemimpin memang tidak akan pernah ada habisnya. Sebab pada kenyataannya, di zaman yang serba modern ini, figur pemimpin yang adil dan beradab semakin langka dan sulit dicari. Kalaupun dipaksakan, figure pemimpin itu jauh dari kata ideal; sebut saja para pemimpin yang terjangkit wabah korupsi, dekadensi moral, gaya hidup yang hedonis, tidak berakhlak, serta bersikap masa bodoh terhadap masyarakat; hingga berbicara kasar nan kotor di ranah publik menjadi semacam sesuatu hal yang lumrah dan terkesan biasa saja. Pada taraf tertentu, kata-kata kotor seorang pemimpin malah dianggap prestasi yang perlu diapresiasi.

Kepemimpinan saat ini juga telah dipolitisasi menjadi hanya sebagai bentuk dari kekuasaan. Alih-alih dipandang sebagai ‘amanah’ ia justru dianggap sebagai ajang untuk berbangga-bangga, serta memperkaya harta. Padahal kata Kasman Singodemedjo kepada Agus Salim, “Een leiders weg is een lijdensweg, leiden is lijden” Jalan Pemimpin bukanlah jalan yang mudah, pemimpin adalah penderita. Namun nyatanya, kepemimpinan dewasa ini seperti keluar dari jalurnya. Dalam banyak kasus justru digunakan untuk bersenang-senang lalu dipergunakan untuk mempertahankan kekuasaan. Bukan memberi sebanyak-banyaknya namun mengambil habis seluruhnya.

Ini mengisyaratkan, bahwa kepemimpinan telah dikonsepsikan tidak pada tempat yang semestinya. Padahal kedudukan pemimpin sangatlah esensial. Sesuatu yang sangat penting dan perlu pada setiap komunitas masyarakat. Al-Ghazali sampai menulis buku ‘al-tibrul masbuk fi nasihat al-muluk’ sebagai penjelasan mengenai sosok pemimpin yang ideal. Tentu fakta ini perlu diperhatikan bersama. mengingat “setiap dari kalian adalah pemimpin, dan tiap-tiap dari pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban”(HR Bukhari). Minimal setiap dari manusia akan memimpin keluarga dan dirinya sendiri-sendiri. Maka perlu kiranya untuk memahami kembali Apa arti sebenarnya dari memimpin itu.

Dalam bahasa Inggris pemimpin berarti leader, yang dalam Merriam Webster dictionary berarti; “a person who has commanding authority or influence” yaitu seseorang yang memiliki otoritas untuk mengatur atau figure yang memiliki pengaruh. Sedang dalam bahasa arab dikenal dengan sebutan Imam atau khalifah. Ibnu Mandzur dalam Lisanul ‘Arab menjelaskan bahwa kata imamah, berakar kata ‘amma’ yang berarti di depan atau ketua. Sedangkan dalam al-mu’jam ash-shamil li mustolahat al-falsafah karya Abdul Mun’im Al-Hifny, imam berarti yang memiliki kekuasaan tertinggi di dalam agama dan dunia, yang harus diikuti oleh seluruh umat.

Dari definisi tadi, nampak bahwa dimensi kepemimpinan sederhananya ialah figur yang memiliki ketrampilan mengatur, memiliki pengaruh dan mampu memberikan contoh kepada umat manusia. Namun bila ditelaah lebih mendalam, pemimpin dan memimimpin memiliki dimensi yang lebih luas daripada itu. Kriteria pemimpin diterjemahkan oleh al-mawardi dalam ‘al-ahkam al-sulthaniyyah’ menjadi enam; berprilaku adil, memiliki ilmu untuk mengambil keputusan, panca indra yang sehat (secara fisik tidak cacat), peduli pada berbagai persoalan, tegas dan percaya diri.

Selain dari kriteria itu, menjadi pemimpin juga haruslah menyadari bahwa jabatan adalah amanah. Ini penting, sebab amanat mencirikan pertanggungjawaban. Sifat amanah menurut Ibnu Taimiyyah ialah “tarji’u ila khasyatillah” kesungguhan untuk takut kepada Allah, tidak memperjualbelikan ayat Allah untuk kepentingan duniawi dan tidak takut terhadap ancaman manusia “wa taroka khasyatinnas”. Maka tidak mengherankan bila pada hari akhir nanti, amanah itulah yang akan menjadikan penyandangnya hina dan menyesal, kecuali pemimpin itu menggambilnya dengan benar dan menunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Inilah juga nasihat yang disampaikan Rasulullah kepada Abu Dzar al-Ghifari kala ia meminta jabatan sebagai pemimpin.

Syed Muhammad Naquib al-Attas menyebutkan hal yang kurang lebih serupa; bahwa menjadi pemimpin bukanlah semata-mata soal bagaimana mengatur perubahan, tetapi kepemimpinan ialah amanah. Maka lahirlah darinya kewajiban serta tanggung jawab. “leadership from Islamic prespective is not just managing changes; but more importantly, to manage as a whole with full realization of what is permanent and unchangeable. Leadership is trust (Amanah) and with that comes “responsibility” (taklif) and accountability”(mas’uliyyah).

Kriteria pemimpin ideal lainnya juga disebutkan di dalam al-Qur’an. Ini tergambar pada Nabi Ibrahim, (al-Nahl: 120-122). Di dalam ayat ini, seorang pemimpin sekurang-kurangnya haruslah mempunyai tiga hal. “Qanit li Allah” Tunduk patuh kepada perintah Allah, “hanif” lurus pada kebenaran, dan “syukur”. Al-Isfahani dalam Mu’jam Mufradat alfaz al-Qur’an mengartikan Qanit sebagai luzumu al-ta’ah ma’a al-khudu’ senantiasa taat dan tunduk, tidak ragu, dan mengingkari keberadaan Allah, tidak pula menyimpang serta membantah perintah Nya. Maka konsekuensinya adalah, seorang pemimpin hendaknya jauh dari sifat skeptis, relativis, agnostis serta pluralis dalam berkeyakinan kepada Allah.

Selain daripada itu, pemimpin dalam gambaran Nabi, bukanlah penguasa lalu berhenti di situ, tetapi ia adalah pekerja untuk melayani banyak orang.  Sebab pekerja adalah gambaran dari orang yang kuat lagi terpercaya. Seperti yang termaktub di dalam al-Qur’an “sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja, ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya” (al-Qhasash: 26)
Dalam penjelasan al-Qardawi, kuat yang tertulis pada ayat di atas adalah kuat dalam memimpin, dan amanah. maksudnya ialah tidak berkhianat lalu menyimpang dari jalan Allah. Landasannya jelas karena takut kepada Allah. Sedangkan al-Qurtubi dalam tafsirnya, menjelaskan al-Amin sebagai tidak takut oleh penghianatan. Dengan ungkapan lain, menjadi pemimpin haruslah kuat dan tangguh demi bekerja untuk memenuhi kebutuhan banyak orang.

Tetapi, amanah juga tidaklah cukup. Seorang pemimpin haruslah pula berilmu. Karena bila ia berpengetahuan, berarti ia mengetahui, berilmu dan memiliki kapabilitas atas tugas-tugas yang ia akan kerjakan, lalu bertanggung jawab dengan pekerjaan itu. Namun sebaliknya, perbuatan yang tidak didasari ilmu seringkali berujung kepada hasil yang merusak. Sebagaimana yang diucakan oleh Umar bin Khattab; “amal tanpa ilmu itu lebih banyak merusak daripada memperbaiki”.

Maka al-Qur’an memberi penjelasan yang lain lewat kisah Nabi Yusuf as. Bahwa ia diberi jabatan yang tinggi oleh Raja, karena selain ia ‘al-amin’ dapat dipercaya dan ‘hafiz’ pandai menjaga, ia juga haruslah ‘alim’ berpengetahuan (Yusuf 54-55). Perlu diketahui, menjaga punya medan maksud yang cukup luas. bukan hanya menjaga masyarakat dari segala tindak kedzaliman, tapi juga menjaga laku, kepribadian serta ucapannya (pemimpin) sendiri, dari kepribadian serta ucapan yang buruk nan kotor. Sebab pemimpin juga punya sisi ‘qudwah’ keteladanan yang sudah barang tentu menjadi inspirasi banyak orang.

Dari kriteria yang telah dibahas di atas, terlihat bahwa Nabi tidak mengisyaratkan bahwa pemimpin Muslim itu haruslah yang tinggi ilmu agamanya, tetapi seorang muslim yang mempunyai ketrampilan leadership serta amanah. Artinya ilmu agamanya tidaklah harus setingkat seperti ulama. Namun perlu digarisbawahi, bukan berarti orang yang buta agama atau bahkan yang sekuler dan liberal dapat masuk dalam kriteria pemimpin versi Nabi di atas. Sebab, seseorang tidak akan amanah bila ia tidak memahami syariah.

Maka, pemimpin haruslah memahami syariah. Bila tidak demikian ia bisa lepas dari Tuhannya dan jauh dari masyarakatnya. karena seorang pemimpin memiliki dua tugas utama; beribadah kepada Allah dan berkhidmat kepada orang banyak. untuk beribadah diperlukan ilmu dan iman, sedangkan untuk berkidmat juga diperlukan ilmu untuk mensejahterakan rakyat. Dan Nabi Bersabda “pemimpin yang tidak berusaha meningkatkan materi dan akhlak serta kesejahteraan rakyat tidak akan masuk surga” (HR Bukhari).

Pada akhirnya, memimpin itu bukan hanya tentang jabatan, sikap tegas dan keras tanpa kompromi kepada kejahatan. Tapi, juga tentang memberi suri tauladan dengan sebaik-baiknya. tentang tingkah laku, lalu dengan ilmunya ia mengabdikan diri sepenuhnya demi maslahat orang banyak. Memimpin juga mengisyaratkan tanggung jawab, menjaga amanah, yang kesemuanya bermuara pada satu titik, yakni pengabdian untuk meraih ridho Allah. Mungkin baru dengan beginilah seorang pemimpin akan dicintai rakyatnya, dan rakyatnya dicintai oleh pemimpinnya. Wallahu a’lam.[]
Powered by Blogger.